Kami Mohon Keadilan Pak Hakim, Salah Saya dimana???
Bandung, http://fokussuaranews.com- Sidang 5 Mei 2025, Terdakwa didampingi DR. Elya Kusuma Dewi, SH., M.H., dari Kantor Hukum El&Patner’s dengan agenda pembelaan dari Terdakwa dan atau Penasehat hukumnya terlihat menyentuh hati meskipun sidang dalam suasana tergesa-gesa karena dilaksanakan sore hari setelah jam kerja pada umumnya.
Setelah sebelumnya terdakwa dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dengan pasal 2 UU tindak pidana korupsi dengan hukuman penjara 4 tahun penjara dan denda Rp 200.000.000,- subsider kurungan 10 bulan.
Baca Juga: Sosialisasi dan Pembuatan Rekening Bank Lampung Kegiatan Bedah Rumah Tahun 2025
Akhirnya dengan lantang Penasehat hukum terdakwa membacakan nota pembelaan/Pledoi nya, dan sebaliknya dengan berurai air mata terdakwa juga mebacakan pembelaannya sendiri.
“salah saya apa, pada saat itu keadaan darurat, mencekam karena covid, saya memikirkan diri saya sendiri saja tidak, apalagi memikirkan untuk korupsi
Yang saya pikirkan saat itu bagaimana menolong orang. Pada saat awal menjabat dalam rapat saya sampaikan, bagaimana dengan tenaga sukarelawan?
Apakah masih dibutuhkan?
Lalu bagaimana dengan honor tenaga sukarelawan tersebut?
Yang kemudian disepakati tenaga sukarelawan tetap ada karena puskesmas sangat membutuhkan dan untuk membayar tenaga sukarelawan diadakan rereongan.
rereongan itu uang pribadi masing-masing setelah kami mendapat uang jasa pelayanan, kemudian kami iuran/rereongan.
Rereongan juga tidak dipaksa dan tidak ada sanksinya.
saya sudah mengajukan ke dinas kesehatan terkait kebutuhan tenaga tersebut tapi belum disetujui.
Apakah itu salah?,” tangis Erna dengan berderai air mata, terdakwa mohon keadilan kepada Majelis Hakim.
Lain halnya dengan Penasehat Hukum Terdakwa, Elya dengan lantang membacakan nota pembelaannya.
”Saya prihatin dan bingung dengan pemikiran Jaksa Penuntut Umum dan salah satu saksi ahli yang dihadirkan oleh jaksa, jika berpikir rereongan disamakan dengan potongan.
Jelas-jelas para pegawai menerima utuh tanpa berkurang satu rupiah pun, dan setelah mereka mendapat gaji atau remunerasi atau apapun namanya dari negara, kemudian digunakan untuk apapun ya terserah mereka.
Beli beras, beli sepatu, nyumbang atau untuk jalan-jalan kan tidak harus laporan ke negara karena sudah bukan lagi uang negara.
Lantas dimana kerugian negaranya?,” ucap Elya kepada wartawan.
Para pegawai menerima utuh uang dari negara, kemudian pegawai menyisihkan untuk Bersama-sama membayar tenaga sukarelawan yang telah membantu untuk melayani masyarakat di puskesmas, harusnya negara malu dan terima kasih kepada para pegawai puskesmas, para pegawai ini dengan uangnya sudah membantu tugas negara dalam melayani masyarakat yang sakit.
Apalagi pada saat ada wabah covid, eh ini malah kepala puskesmas dengan melaksanakan rereongan dianggap melakukan tindak pidana korupsi,” ungkap Elya sambil menggelengkan kepala sambil menghela nafas.
”hati-hati membantu Pemerintah/negara, takutnya nanti terjerat pidana korupsi seperti klien kami,” ujarnya.
Kemudian,Kurang lebih seminggu sebelumnya keluarga Terdakwa minta keadilan dengan mengirimkan surat pengaduan kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dengan ditembuskan kepada Kejari, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, dll.
“Keluarga Terdakwa minta keadilan, jika ibu Erna terkena tindak pidana korupsi, maka usut juga ada sekitar 20 puskesmas di Purwakarta, ada OPD, UPTD dan semua pemerintahan yang melakukan rereongan menggunakan uang gaji/remunerasi atau apapun yang berasal dari negara untuk diusut tanpa kecuali,” pungkas Elya.
Red-